BLOG

BLOG

Rabu, Desember 02, 2015

Review: Paper Towns (2015)

Petualangan remaja tentang cinta, persahabatan dan jati diri.


Walaupun sebenarnya review-nya sudah telat tapi saya akan tetap membahas tentang film yang diangkat dari novel best seller berjudul sama, karya John Green ini. Film ber-genre komedi romatis ini sukses menyedot perhatian masyarakat.

Sinopsis

Sejak kanak-kanak hingga remaja, Quentin (Nat Wolff) telah jatuh hati kepada anak gadis yang tinggal di depan rumahnya bernama Margo Roth Spiegelman (Cara Delevingne). Margo adalah seorang gadis petualang yang menyukai hal-hal misterius, meski bertingkah sedikit bengal dan aneh namun Quentin masih tetap menyukai Margo.


Semasa kecil keduanya begitu dekat, hingga suatu ketika Margo meminta Quentin untuk membantunya mengungkap kematian seorang pria yang jasadnya ditemukan di dekat kolam. Namun Quentin yang merupakan lelaki nerd, menolak ajakan Margo. Sejak saat itu, hubungan keduanya pun renggang. Kerenggangan keduanya masih terasa sampai keduanya masuk SMA.

Hingga pada suatu malam, Margo meminta bantuan kepada Quentin untuk menyelesaikan sebuah misi balas dendam yang ditujukan kepada pacar dan sahabat Margo, Jase dan Becca, yang ketahuan berselingkuh. Setelah misi selesai, Margo mengajak Quentin ke sebuah gedung Suntrust Center. Sambil keduanya menikmati pemandangan malam hari dari gedung ini, Margo mengatakan bahwa apa yang mereka lihat sekarang hanyalah sebuah paper town atau kota kertas yang didalamnya terdapat orang-orang kertas yang hidupnya penuh kepalsuan. Pesan moral.


Keesokan harinya, Margo secara misterius menghilang. Margo tak berada dirumah dan tak juga pergi ke sekolah. Meski begitu, keluarga Margo terkesan biasa saja, mengingat ini bukanlah kali pertama Margo melarikan diri. Berbeda dengan keluarga Margo, Q 'Quentin' justru merasa sangat kehilangan, dan akhirnya memutuskan untuk mencari Margo dengan mengikuti segala clue-clue yang ditinggalkan Margo. Bersama teman-temannya, Quentin pun berpetualang mencari Margo.

Review

Berusaha mendulang sukses kembali seperti novel dan filmnya terdahulu, 'The Fault in Our Stars', nyatanya 'Paper Towns' berhasil menyuguhkan drama komedi remaja yang mudah diterima khususnya kaula muda. Film ini seakan membawa kita-kita yang sudah atau akan meninggalkan bangku SMA pada betapa serunya persahabatan saat sekolah, terlebih saat akan lulus.

Fokus cerita terletak pada bagaimana Quentin dkk menemukan Margo tepat waktu, karena mereka juga harus mengikuti prom sekolah yang akan menjadi prom terakhir mereka sebelum lulus. Berbeda dengan 'The Fault in Our Stars' yang berhasil mengajak penonton bersedih, 'Paper Towns' justru menawarkan hal sebaliknya. Petualangan Q dkk dengan mengikuti segala clue seakan turut mengajak penonton ikut terlibat pada petualangan seru didalamnya. Memang tak cukup rumit, tapi cukup membuat kita para penonton ikut menduga-duga isi dari pesan Margo untuk Q.


Tak hanya tema percintaan yang diangkat pada film ini. Persahabatan yang dijalin Q dengan dua sahabatnya Ben (Austin Abrams) dan Radar (Justice Smith) pun turut memberi pesan pada sebuah persahabatan yang kadang kala dihadapkan pada susahnya mengatur ego masing-masing. Tingkah ketiganya yang kocak dan nakal ala ala anak SMA pun menjadi bumbu pemanis tersendiri bagi 'Paper Towns'.

Sementara untuk para aktor yang terlibat dalam film sepertinya sudah sangat mengerti pada perannya masing-masing. Nat Wolff, Austin Abrams, Justice Smith sudah sangat paham bagaimana memainkan dan mendalami perannya sebagai remaja-remaja polos penuh tingkah aneh. Ketiganya yang diceritakan mulai menemukan cintanya masing-masing, mampu memainkan perannya dengan baik dan begitu natural. Sementara itu Cara Delevingne sepertinya juga tak sulit memerankan Margo, gadis nyentrik yang hidupnya dipenuhi teka-teki, seperti sudah menjadi cerminan tersendiri untuk model asal Inggris ini.


'Paper Towns' seakan menyadarkan kepada kita tentang bagaimana kehidupan remaja jaman sekarang yang masih dalam tahap pencarian jati diri. Sosok Margo yang bengal menjadi cerminan bagi remaja sekarang yang kurang mendapat perhatian, sehingga melarikan diri seakan menjadi jawaban dari attention yang ingin mereka dapat dari lingkungan sekitar.

Pesan yang cukup mendalam juga dapat dirasakan penonton diakhir cerita. Dimana pemikiran seorang Quentin lah yang menjadi penutup manis diakhir film. Bagaimana pencarian Margo menjadi sebuah akhir yang manis dari masa SMA Q bersama para sahabatnya, juga bagaimana Q yang mencoba memahami apa keinginan Margo yang menurut Q adalah bagian dari pencarian jati diri seorang remaja. 

Hingga akhirnya film ini berhasil menyampaikan pesan singkat kepada kita bahwa remaja tetaplah remaja, dengan segala kekoyolan dan kegalauan yang mereka keluarkan demi sebuah jati diri. Toh pada akhirnya semua kekonyolan dan kegalauan tadi akan menghilang dengan sendirinya dimakan waktu menuju sebuah babak baru yang disebut pendewasaan.

0 comments:

Posting Komentar